Senin, 01 Juni 2009

Alasan Kenapa JK maju sebagai Presiden

Pekan Baru : 1 Juni 2009
JK adalah sosok seorang yang sangat demokratis dan santun di dalam berpolitik. Demokratis kepemimpinannya dapat dilihat selama dia menjadi Ketum Golkar. Selama menjabat pucuk pimpinan di Golkar, JK belum pernah satu kalipun memecat kader yang dianggap berseberangan dengannya. Paling JK hanya bilang, "biarkan saja mereka, toh nanti juga akan balik sendiri..". Dan memang pada akhirnya kader yang berbeda pendapat itu akhirnya kembali lagi dengan sendirinya. Mungkin hal inilah yang membuat JK sangat disegani di Golkar. Jadi kalau ada pihak yang mengklaim bahwa JK bukanlah sosok yang berpengaruh di Golkar, di sini berani saya menyatakan bahwa pendapat orang tersebut keliru.
Memang kita akui bahwa selain JK, tokoh lain yang juga punya pengaruh kuat di Golkar adalah Akbar Tandjung. AT (Akbar Tandjung) adalah tokoh yang mampu membesarkan Golkar di saat Golkar sedang dihujat karena keterkaitan dengan Orde Baru. AT bisa membawa Golkar menjadi pemenang Pemilu 2004, tetapi sayang, gagal menjadikan Wiranto sebagai Presiden yang diusung Golkar.
Ada satu hal mendasar yang membedakan kepemimpinan JK dan AT. JK orangnya sangat demokratis sedangkan AT agak sedikit otoriter. AT pernah memecat kader Golkar yang terbukti tidak mendukung keputusan DPP untuk berkoalisi dengan PDIP. Diantara tokoh penting yang pernah merasakan tangan besi AT adalah Fahmi Idris, Marzuki Darusman dan lain2. Gaya kepemimpinan AT memang bagus pada saat Golkar lagi dihujat habis2an, tetapi setelah Golkar berhasil melalui tahapan "dihujat" itu gaya kepemimpinan AT agak sedikit mengalami perubahan. Tapi perubahan gaya kepemimpinan AT tersebut bertolak belakang dengan perkembangan zaman saat itu, dimana orang sangat tidak suka dengan kepemimpinan bergaya otoriter.
Kesantunan JK bisa dilihat selama dia menjadi Wapres-nya SBY. JK tidak pernah mengklaim suatu keberhasilan kerja Pemerintah sebagai keberhasilan ide-idenya, walaupun orang tahu bahwa kebijakan tersebut lahir dari pemikirannya. Dia hanya katakan bahwa ini adalah keberhasilan kita bersama. Kemudian disaat Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kontroversial, JK mengakui bahwa kebijakan itu adalah kebijakan yang diambilnya, tentu atas izin Presiden. Contoh yang paling mudah adalah ketika JK berani maju kedepan mempertahankan kebijakan menaikkan harga BBM di saat Partai pendukung Pemerintah lainnya tidak ada yang berani menghadapi penolakan masyarakat. Akibat seringnya JK menjadi bumper kebijakan yang kontroversi tersebut berimbas terhadap perolehan suara Golkar di Pileg 2009 yang turun menjadi 14 persen. Kemudian ketika harga BBM turun, Partai pendukung Pemerintah berebut2 untuk mengumumkan penurunan harga tersebut, sedangkan JK dengan Partai Golkarnya hanya bisa menjadi penonton disaat pengumuman penurunan harga BBM tersebut.
Sangat riskan sekali disini..disaat yang jelek2nya dikasih ke JK, tapi disaat yang enak2nya Demokrat yang ambil alih..Apakah ini adil namanya didalam berkoalisi...????
Walaupun kader Golkar banyak yang kecewa atas perlakuan yang diterima Golkar umumnya dan JK khususnya, tapi JK tetap loyal dengan posisinya sebagai Wapres dan Ketua Umum Partai pendukung Pemerintah. JK berpendapat bahwa di dalam menjalankan kekuasaan pasti ada resiko yang harus siap diterima. Ada yang pro dan kontra. Pemerintah harus siap mengambil suatu kebijakan walaupun "sulit" supaya roda pemerintahan terus berjalan. Dalam kebijakan kenaikan BBM JK mengatakan bahwa APBN kita sudah tidak mampu lagi mensubsidi harga BBM akibat lonjakan harga minyak dunia.
Nah, kekecewaan kader Golkar mengalami klimaksnya ketika ada pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Ahmad Muboroq yang menyatakan bahwa suara Golkar hanya 2,5 persen pada Pileg 2009. Pernyataan ini memicu "pemberontakan" dari kader2 Golkar yang selama ini "dicurangi" terus oleh Partai Demokrat (PD). Puncaknya ketika semua Ketua DPD I Partai Golkar se-Indonesia mendorong supaya JK maju sebagai Presiden.
Namun setelah Pileg 2009 selesai dilakukan dimana Golkar hanya mendapat suara sekitar 14 persen, dorongan dari kader Golkar supaya JK maju sebagai Presiden mulai meredup. Ini karena Golkar realistis dengan hanya menempati nomor dua perolehan suara terbanyak dibawah Demokrat. Apalagi elektabilitas SBY yang notabene Capres dari Demokrat masih jauh lebih tinggi dibanding figur Capres lannya, termasuk JK. Sehingga pada saat itu posisi Golkar belum jelas akan kemana...
Kemudian entah siapa yang memulai pembicaraan, timbul suatu keinginan agar Golkar kembali berkoalisi dengan Demokrat, di mana Demokrat meminta Cawapres dari Golkar untuk mendampingi SBY yang di Capreskan Demokrat. Idealnya untuk memuluskan langkah SBY ke kursi Presiden untuk kedua kalinya, sebaiknya koalisi dengan Golkar tetap dilanjutkan dengan tetap mempertahankan duet SBY-JK. Karena bagaimanapun Partai Demokrat mengklaim bahwa Pemerintahan SBY-JK berhasil mengelola Negara sehingga perlu “dilanjutkan”.
Maka dilakukanlah perundingan antara petinggi Partai Demokrat yang diwakili Tim 9 (diantaranya Hadi Utomo, Anas Urbaningrum, Ruhut Sitompul) dan Petinggi Partai Golkar (diantaranya Soemarsono, Muladi) untuk membincangkan bagaimana strategi koalisi terutama pengajuan Cawapres dari Golkar. Nah, disinilah kembali Demokrat menunjukkan sikap arogan dan PD (percaya diri) yang berlebihan. Demokrat meminta Golkar mengajukan Cawapres, tetapi cara pengajuannya juga diatur oleh Demokrat. Golkar diminta mengajukan lima nama kepada SBY, nanti terserah SBY yang memilih siapa yang berhak mendampinginya. Arogan sekali saya lihat disini. Kenapa harus lima nama..??. Terserah Golkar dong mau mengajukan berapa nama, satu, dua atau sepuluh orang sekaligus kalaupun nanti juga yang memutuskan adalah SBY.
Kemudian SBY juga mengajukan lima syarat/kriteria pendampingnya. Yang kita ketahui syarat/ kriteria itu diterapkan untuk calon yang akan naik tingkat /jabatan. Misalnya sebelumnya dia jadi Menteri, lalu naik tingkat jadi Wapres. Tapi kalau sebelumnya dia sudah jadi Wapres, kemudian diminta lagi jadi Wapres, apa itu naik tingkat namanya….???? Apakah JK juga harus lulus kriteria untuk jadi Wapres dimana sampai saat ini dia masih menjadi Wapres..???. Sangat aneh dan tidak masuk akal sekali kriteria2 yang ditetapkan itu.
Lalu, kalau seandainya Golkar mengabulkan keinginan Demokrat itu dengan mengajukan 5 nama kadernya yang akan mendampingi SBY. Dan ternyata yang dipilih SBY bukanlah JK yang telah berjuang mati-matian untuk membela Pemerintah SBY selama 4,5 tahun, sampai-sampai Demokrat mengakui bahwa Pemerintahan SBY berhasil, dan perlu dilanjutkan. Akan dikemanakan rasa malu bagi JK karena dia tidak dipilh lagi…??. Karena hal itu juga mencerminkan bahwasanya JK tidak lolos kualifikasi sebagai Cawapres SBY, sedangkan saat ini dia masih menjabat sebagai Wapres pendamping SBY. Apakah pemerintahan ini akan dilanjutkan tanpa JK lagi…??!!! Kalau SBY merasa tidak cocok dengan JK tidak etis rasanya kalau Demokrat masih ingin berkoalisi dengan Golkar, karena bagaimanapun sampai saat JK masih menjabat sebagai Ketua Umum Golkar.
Ironis sekali disini, mereka yang bilang Pemerintahan SBY berhasil, kemudian akan dilanjutkan dengan tidak mengikutsertakan orang yang punya andil banyak dalam keberhasilan itu. Sikap oportunis orang-orang disekeliling SBY membuat SBY juga tidak bisa realistis lagi dalam bersikap. Tahun 2004 kita harapkan SBY-JK bisa menjadi Dwi-Tunggal baru yang akan membawa bangkit bangsa ini dari keterpurukan. Tapi nasibnya juga sama dengan Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta yang akhirnya “tanggal” karena egoisme pribadi dan orang-orang sekeliling Presiden. Kalau dulu Hatta mundur karena Soekarno ingin menerapkan Demokrasi Terpimpin yang bertentangan dengan Demokrasi sesungguhnya, maka kalau JK disini saya lihat dia dikhianati, karena orang-orang disekitar SBY tidak ingin JK lebih banyak berkiprah di Pemerintahan yang berakibat menurunnya pamor SBY sehingga orang sekaliber Buya Syafi’I Ma’arif pun pernah melontarkan wacana “JK-is the real Presiden.
Sebenarnya JK tidak punya ambisi menjadi Presiden karena dengan posisi-nya sekarang JK merasa sudah bisa mengabdikan kemampuannya untuk mengangkat dan membangun bangsa ini. Banyak karya besar JK yang telah disumbangkan untuk bangsa ini. Diantaranya perdamaian Aceh yang menjadi PR pemimpin terdahulu yang tidak kunjung terselesaikan. Di tangan dingin JK lah GAM akhirnya meletakkan senjata dan mengakhiri permusuhannya dengan Pemerintah RI.
Jadi itulah sekelumit alasan kenapa JK yang sangat menghormati SBY mau maju bersaing dengan SBY pada Pilpres kali ini. Dan saya meyakini bahwa kesombongan akan dikalahkan oleh kebenaran dan keteladanan. Mudah2an pendapat pribadi saya ini juga dirasakan oleh orang2 yang tidak ingin ada lagi pengkhianatan terjadi dalam kehidupan berbangsa ini.

Minggu, 17 Mei 2009

Reinkarnasi Dwi Tunggal...????

Pekanbaru / 18 Mei 2009
Capres Partai Golongan Karya (Golkar) Jusuf Kalla (JK) santai saja melihat para partai politik Islam merapat ke kubu SBY-Boediono. Pilihan pada capres-cawapres mendatang bukan ditentukan para pimpinan parpol Islam itu.

"Ada orang yang bertanya kepada saya, 'Bagaimana Pak, di seberang sana banyak partai Islam?'. Boleh parkir di tempat lain, tapi penumpangnya kan boleh di tempat lain. Yang memilih kan bukan busnya, tapi penumpangnya," ujar JK.

JK menyampaikan hal itu usai menerima beberapa ormas kepemudaan Islam di Posko Golkar, Jl Mangunsarkoro, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (17/5/2009).

Dia pun mengatakan bahwa pencalonannya sebagai capres, juga didukung semua organisasi Islam terbesar. JK pun mengucapkan terima kasih atas dukungan itu.

"Alhamdulillah, hampir semua organisasi Islam terbesar memberikan dorongan. Kita boleh beda partai dan beda organisasi tapi kita tak boleh beda tujuan untuk saat ini. Saya berterima kasih atas dukungan dari saudara semua," imbuhnya.

JK kemudian menegaskan slogan 'Lebih cepat lebih baik' yang menjadi andalannya.

"Tau nggak arti lebih cepat lebih baik itu apa? Lebih cepat itu dari segi kepemimpinan maksudnya cepat mengambil keputusan dan lebih cepat itu dari segi manajemen cepat menjalankan program," jelasnya.

Artinya, lanjut JK, adalah 'fastabikhul khairaat' (berlomba-lomba dalam kebajikan).

"Untuk cepat kan mesti berlomba-lombakan? Karena al khairat itu yang tertinggi dan yang terbaik. Dan kami sudah lebih cepat berkoalisi lebih cepat mendaftar dan lebih cepat cek kesehatan," tuturnya.

Ormas kepemudaan Islam yang hadir malam ini antara lain Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). ( nwk / nwk )

Kutipan di atas adalah liputan detik.com pada acara pertemuan Jusuf Kalla dengan beberapa Ormas Kepemudaan di Posko Golkar Jl.Mangunsarkoro..Pernyata
an yang dilontarkan oleh Capres dengan slogan JK-WIN atas pertanyaan dari audiens tersebut di atas disampaikan tanpa dikonsep terlebih dahulu..(tapi dikonsep di dalam otak, dibentengi dengan hati nurani serta disampaikan dengan cara lebih cepat))..

Mencerna isi pidato di atas timbul suatu keinginan dari kita bahwa seandainya saja seorang Jusuf Kalla bisa bergaya orator dalam menyampaikan isi pemikirannya maka suaranya tersebut bisa membangkitkan kembali rasa Nasionalisme anak bangsa yang selama ini mengalami degradasi. Pernyataan yang sangat bijak dan diplomatis. Tidak akan ada yang merasa tersinggung..Disampaikan dengan tutur kata halus, diplomatis dan mengandung makna yang dalam..terutama pernyataan bahwa "pada saat ini kita boleh berbeda Organisasi, berbeda Partai,, tapi kita tidak boleh berbeda tujuan.. Tujuannya hanya satu yaitu untuk Kejayaan Indonesia". Boleh berkompetisi tapi tidak boleh saling gontok2an. Berkompetisilah secara sehat dan fair..

Tapi sayangnya dengan karakter dan gaya yang mungkin memang sudah melekat pada beliau maka penyampaian itu tidak terlalu begitu menarik untuk didengarkan.. Itulah salah satu takdir menjadi seorang manusia..tidak ada yang sempurna..akan tetapi kekurangan itu bisa diatasi kalau saja ada kerjasama di dalamnya...saling melengkapi di "Kala" memimpin.

Nah..peran inilah yang seharusnya bisa diambil alih oleh Pak Wiranto ..dengan bekal pengalaman memimpin ABRI/ TNI selama puluhan tahun..dimana Wiranto adalah salah satu sosok Tentara yang berkarier cemerlang..semua tingkatan Kepala Kesatuan pernah dipegang sampai pucuk pimpinan Tentara yaitu Panglima TNI..

Wiranto adalah seorang orator..Penyampaian kata2nya enak didengar dan susunan kata2nya terpola dengan baik. Duet ini akan menampakkan kedigdayaannya jika saja Wiranto mampu menjadi penyambung lidah pemikiran2 JK. Dengan "gaya oratornya Wiranto" maka pemikiran2 hebat dari seorang JK tersebut akan sampai kepada rakyat Indonesia dengan tujuan bisa membangkitkan kembali semangat Nasionalisme anak bangsa yang selama ini mati suri..

Kemudian jika kita melihat kembali gaya kepemimpinan Nasional yang pertama kali dilakoni oleh Soekarno-Hatta dan kita bandingkan dengan Gaya Kepemimpinan yang akan dilakukan oleh JK-WIN maka terdapat banyak sekali kesamaan. Hal yang membedakannya hanyalah Posisi..di mana Posisi Hatta direpresentasikan oleh JK sedangkan posisi Soekarno direpresentasikan oleh Wiranto...jadi di sini sah2 saja kalau kita mengibaratkan duet JK-WIN merupakan reinkarnasi Soekarno-Hatta..tapi bukanlah sama dengan duet Soekarno-Hatta..

Tapi timbul suatu pertanyaan bahwa akankah kepemimpinan ini bisa berhasil dan juga akan mengalami kemunduran sama seperti Dwi Tunggal Soekarno Hatta..?? Mudah2an duet JK-Win bisa mengambil yang positifnya saja dan mengabaikan yang negatifnya karena adanya perbedaan posisi yang tadi disebutkan di atas..??

Untuk bisa memprediksi hal tersebut tentu saja kita harus melihat secara keseluruhan Kepemimpinan yang dilakoni oleh Soekarno-Hatta..Duet kepemimpinan The Founding Father ini berhasil dari awal masa kemerdekaan tetapi mengalami kemunduran hingga puncaknya di tahun 1956 dengan pengunduran diri Bung Hatta dari jabatan Wapres tanggal 1 Desember 1956.

Mundurnya Hatta dari kursi wapres merefleksikan kekecewaannya dengan perkembangan yang mengarah pada kemunduran pelaksanaan demokrasi dan cita-cita kemerdekaan. Sekalipun menjabat wapres, tetapi Hatta tak bisa melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan tersebut, sementara ia sangat taat pada konstitusi yang memosisikan jabatan wapres sebagai 'simbol' belaka.

Fokus keprihatinan Hatta pada periode 1950-an berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi parlementer
yang 'kebablasan', ancaman disintegrasi nasional, dan bayangan otoriterianisme di depan mata. Sejarah
mencatat, pascapemilu demokratis 1955 Indonesia justru berada dalam keadaan krisis politik yang dilematis.

Eksperimen demokrasi parlementer menghadapi ujian terberatnya ketika terjadi pertengkaran antarelite dan partai yang akhirnya bermuara pada kebuntuan di Konstituante.

Sementara itu di daerah-daerah, tuntutan desentralisasi serta keadilan ekonomi, sosial, dan politik mengeras. Tuntutan lokal tersebut bahkan bermuara pada pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera
dan Sulawesi dengan melibatkan sejumlah partai utama dan tokoh politik. Pada bagian lain, Presiden Soekarno yang sejak awal 1950-an kurang leluasa memainkan peranan politiknya (karena penerapan demokrasi parlementer) justru makin menunjukkan kecenderungan otoriternya. Dia terus mengintroduksi sistem demokrasi terpimpin dan mengusulkan 'penguburan' partai-partai.

Sejak semula Hatta mengritik Soekarno yang cenderung menjalankan perannya ke arah sistem diktator. Ia tentu tak hanya menyalahkan Soekarno, tetapi juga partai-partai. Khusus terhadap kecenderungan egoisme partai-partai, Hatta mengingatkan, "Demokrasi hanya berjalan kalau disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada demokrasi tanpa tanggungjawab. Dan demokrasi yang melewati batasnya dan meluap menjadi anarkhi akan menemui ajalnya dan digantikan sementara waktu oleh diktator."

Dwitunggal ke dwitanggal
Apa yang dikhawatirkan Hatta itu menemukan realitasnya ketika Presiden Soekarno yang didukung PKI dan militer pelan-pelan merealisasikan konsepsi demokrasi terpimpin memasuki paruh kedua 1950-an. Mundurnya Hatta akhir 1956 malah makin memuluskan langkah Soekarno menerapkan sistem yang antidemokrasi tersebut. Didukung kekuatan retorikanya yang hebat, Soekarno selalu mengobarkan slogan bahwa revolusi belum selesai dan harus terus diperjuangkan. Dalam berbagai kesempatan ia pun menyerang balik Hatta sebagai sosok yang 'mengawang-awang'.

Namun Hatta berulang kali pula mengingatkan sahabat seperjuanganya sejak masa muda itu. Terhadap ungkapan revolusi belum selesai Hatta menyatakan, "Salah benar orang yang mengatakan bahwa revolusi kita belum selesai. Revolusi adalah letusan masyarakat sekonyong-konyong yang melaksanakan Umwerung aller Werte. Revolusi mengguncang lantai dan sendi; pasak dan tiang longgar semuanya. Sebab itu saat revolusi tidak dapat berlaku terlalu lama, tidak lebih dari beberapa minggu atau beberapa bulan. Sesudah itu harus dibendung, datang masa konsolidasi untuk merealisasi hasil daripada revolusi itu. Yang belum selesai bukanlah revolusi itu, melainkan usaha menyelenggarakan cita-citanya di dalam waktu, setelah fundamen dibentangkan."

Akibat kritik-kritiknya, hubungan politik Dwitunggal pun retak. Dwitunggal akhirnya menjadi dwitanggal.
Sebenarnya tanda-tanda keretakan itu sudah terlihat sejak awal paruh kedua 1950-an. Dalam pelbagai
kesempatan mereka saling kritik. Mundurnya Hatta dari kursi wapres pada 1 Desember 1956 merupakan rangkaian dari perbedaannya yang makin tajam dengan Soekarno. Sejak mundur dari pemerintahan itulah Hatta mengambil peran sebagai oposisi yang rajin melakukan kritik kontruktif terhadap pemerintah, partai-partai, dan perkembangan bangsa secara keseluruhan.

Sejarah mencatat, kritik dan prediksi Hatta terbukti benar bahwa sistem otoriter akan menemui ajalnya
karena tidak memiliki legitimasi dari rakyat. Rezim demokrasi terpimpin runtuh bersamaan dengan
berakhirnya kekuasaan Soekarno. Sayangnya, Orde Baru yang diharapkan memperbaiki kondisi demokrasi malah melanjutkan pola rezim demokrasi terpimpin. Sejarah kemudian mencatat, Orde Baru pun runtuh karena kehilangan basis legitimasinya dari rakyat.

Menariknya, sekalipun perbedaan karakter pemikiran politik Soekarno dan Hatta begitu tajam, namun
persahabatan kedua pemimpin tetap lestari. Dalam hubungan pribadi, mereka adalah dwitunggal dalam
pengertian sebenarnya. Hatta sangat sedih dengan upaya desoekarnoisasi yang terjadi sejak Orde Baru. Hatta pernah marah ketika di kemudian hari ada usaha membelokkan sejarah kelahiran Pancasila sehingga seolah-olah bukan Bung Karno yang mencetuskan Pancasila pada 1 Juni 1945.

Teladan Hatta
Banyak pelajaran penting dari kasus mundurnya Hatta.
Tokoh ini tidak hanya seorang pemimpin yang cerdas dan cakap, tetapi juga seorang demokrat-religius. Bagi Hatta, jabatan dan kekuasaan bukanlah segala-galanya. Pengabdian kepada bangsa dan rakyat merupakan yang utama, dan itu bisa dilakukan di mana saja, termasuk di luar pemerintahan.

Di atas itu, Hatta adalah tipe pemimpin yang satu kata dengan perbuatan. Cucu Syekh Batuampar ini dikenal sebagai sosok jujur, bersih, hemat, dan sekaligus santun. Kejujuran Hatta sangat legendaris. Sejalan dengan itu, ia dikenal sebagai pemimpin hemat dan efisien dalam kehidupan pribadi maupun saat
menjalankan pemerintahan.

Hatta juga politisi santun dalam mengutarakan pendapatnya. Setelah tidak menjabat sebagai wapres, ia
tampil sebagai oposisi yang rajin menyampaikan kritik konstruktif terhadap pemerintahan Soekarno. Ia tak mau mengerahkan massa, memprovokasi, memberontak, dan sebagainya, karena Hatta bukanlah tipe agigator dan haus kekuasaan. Hatta dikenal sebagai pemimpin yang rajin mengampanyekan pentingnya mendidik rakyat secara rasional.

Bagaimanakah dewasa ini? Dalam banyak hal, situasi pasca-Orde Baru tak jauh berbeda dengan tahun 1950-an.
Reformasi berjalan tertatih-tatih, dan bisa dikatakan juga "kebablasan". Demokrasi minus demokrat. Egoisme partai, kelompok dan kedaerahan menonjol. Kekuasaan digapai dan dipertahankan dengan segala cara, termasuk politik uang dan kekerasan. Kekuasaan bukan manifestasi amanah dan pengabdian bagi kepentingan rakyat, melainkan pribadi dan kelompok.

Sikap ambivalen juga selalu menyertai elite masa kini. Di mana-mana elite bicara atas nama kepentingan negara dan publik, tetapi perilakunya sering tidak sesuai dengan aspirasi umum. Ketika rakyat diminta
pengertiannya atas kebijakan pengurangan subsidi BBM, misalnya, elite penyelenggara negara justru berusaha menyiasati diri agar tidak terkena krisis. Kuatnya tuntutan anggota DPR untuk menaikkan gaji dan fasilitas menunjukkan bahwa mereka tak mau terkena krisis. Krisis biarlah menjadi milik rakyat banyak. Tipikal elite seperti itu tidak hanya terdapat di pusat, tetapi juga di daerah.

Mudah2an Duet JK-WIN nantinya bisa belajar dari pengalaman di atas untuk menghadapi situasi bangsa sekarang ini .. Apalagi seperti yang diutarakan tadi bahwa ada perbedaan dari kedua duet tersebut yaitu perbedaan posisi di mana sekarang ini Posisi Hatta direpresentasikan oleh JK.
Mereka sama2 orang Luar Jawa...sama2 demokratis..sama2 santun..bahkan secara fisik mereka juga sama2 pendek...

Sehingga Indonesia bisa cepat keluar dari keterpurukan yang berkepanjangan dan kembali menjadi salah satu "Macan Asia".




Jumat, 15 Mei 2009

Pragmatisme Politik

Pekanbaru : 16 Mei 2009 : 1:48
Dinamika politik di tnah air jelang detik2 terakhir batas waktu pendaftaran Capres/Cawapres yg jatuh pada hari Sabtu, tanggal 16 Mei memberikan tontonan menarik bagi pencinta olahraga politik tanah air..Berita ini mampu meredupkan pemberitaan tentang kasus Antasari Azhar yg sudah memasuki babak buka2an..Nampaknya Antasari tidak mau kena sendiri..dengan bantuan pendekar2 hukum kondang yang dikomandoi Hotma Sitompul, ia berusaha melepaskan diri dengan cara menyeret2 nama Kapolri..alibi yang dikemukakan Junifer Girsang dkk adalah bahwa tidak mungkin seorang Antasari Azhar merancang suatu pembunuhan terhadap Nasruddin, di mana sebelumnya Antasari pernah melaporkan Nasruddin ke Kapolri dikarenakan ybs sering men"teror" Antasari dan keluarga. Entah betul atau tidak..biarlah nanti Hakim yg memutuskan perkara ini di Pengadilan.
Kembali ke peta perpolitikan di tanah air..
Semboyan bahwa "di dalam politik itu tidak ada lawan dan kawan yg abadi..yg ada hanya kepentingan yg abadi" nampaknya digunakan secara bersungguh2 oleh Partai2 politik untuk membuat skenario cerita sehingga menjadi tontonan yg cukup menarik..Disini setiap komponen mempunyai peran masing2..ada yg protagonis dan ada yg antagonis...tapi persentasi yang antagonisnya terlalu banyak sehingga cerita ini kadang membuat muak mereka2 yang cinta kepada tanah air..cinta kepada Indonesia..bahkan melebihi cinta orang2 yang berkoar2 menyebut diri mereka adalah Nasionalis sejati..
Skenario yang mereka mainkan akhirnya membuat konstituen yang memilih "mereka"..yang membesarkan partai "mereka" menjadi menyesal kenapa telah memilih orang2 yang tidak bisa dipercayai...?
Itulah politik...
disini saya tidak mu menunjuk2 hidung siapa yg berlaku antagonis..
dan yang protagonis silahkan menilai sendiri...

Sabtu, 02 Mei 2009

Fenomena Demokrasi Ala Indonesia

Riuh rendahnya suasana menjelang Pemilu 9 April 2009 di Indonesia saat ini menimbulkan suatu tingkat antipati bagi masyarakat yang kritis terhadap janji-janji manis (hetty koes endang) yang dilontarkan oleh para caleg agar mereka dipilih nanti. Plagiatisme demokrasi terhadap demokrasi liberal ala Barat yang ditiru bulat-bulat mengakibatkan para caleg mengkampanyekan "pilihlah saya". Apakah demokrasi seperti itu yang sesuai dengan budaya dan agama yang kita anut ???.
Dalam budaya dan agama yang kita anut seorang pemimpin dipilih oleh rakyat bukan karena "dia" yang minta dipilih, akan tetapi rakyatlah yang menginginkan "dia" mau memimpin. Rakyat memilih "dia" karena yakin akan kapasitas yang "dia" punya mampu untuk dapat memegang amanah, karena suatu pemimpin yang baik adalah pemimpin yang paling pertama menderita sebelum rakyatnya menderita dan yang paling terakhir mendapatkan kebahagiaan setelah melihat rakyatnya makmur & sejahtera.

Antara Realitas dan Harga Diri

Pemilu Legislatif berakhir sudah,dengan hasil yang menurut banyak Lembaga Survei dimenangkan oleh Partai Demokrat dengan suara sekitar 20,5%, walaupun hasil finalnya harus menunggu hasil penghitungan KPU. Kemenangan ini membuat tingkat kepercayaan diri Partai Demokrat untuk mengusung SBY tampil kembali sebagai Presiden semakin membubung tinggi. Tingkat kepercayaan diri yang lepas kontrol mewabah hampir ke seluruh kader Partai Demokrat. Hal ini diimplementasikan dengan bargaining "super ketat" partai Demokrat dalam memilih calon pendamping SBY.
Idealnya untuk bertarung aman dalam Pilpres SBY seharusnya kembali menggandeng JK sebagai wakilnya. Tapi karena lepas kontrolnya Partai Demokrat, terutama SBY setelah melihat hasil Pilleg membuat norma kesantunan menjadi berkurang, bila tidak dapat dikatakan hilang sama sekali. Hal ini diperlihatkan dalam pengajuan banyaknya persyaratan/kriteria calon pendamping SBY oleh Demokrat.

Dan yang lebih tidak mengenakkan bagi Golkar setelah pernyataan naif Wakil Ketua Umum Demokrat Ahmad Mubaroq yang menyatakan suara Golkar 2,5% adalah permintaan Demokrat kepada Golkar untuk memberikan 5 nama calon pendamping SBY.
Seharusnya secara norma kesantunan dalam politik, jika ingin kembali menggandeng Golkar dalam koalisi, Demokrat tidak perlu meminta beberapa nama. Cukup meminta kepada Golkar untuk mengajukan siapa kader Golkar yang akan bersanding dengan SBY. Mau satu, dua , atau lima hal itu sepenuhnya menjadi wewenang Golkar. Seandainya calon yang diajukan Golkar itu tidak sesuai dengan kriteria, atau katakanlah ditolak oleh SBY, maka koalisi mustahil akan terjadi. Ini lebih fair & gentelmen.

Seharusnya SBY bisa bersikap lebih santun kepada JK karena selama ini prestasi Pemerintah tidak lepas dari kemampuan tangan dinginnya JK. JK lebih berani mengeksekusi suatu kebijakan walaupun menimbulkan image yang negatif untuk Golkar. Aceh kembali menjadi sebuah daerah yang aman juga berkat tangan dingin JK.
Kalau kita boleh berandai-andai...seandainy
a permintaan untuk mengajukan 5 calon pendamping SBY dikabulkan oleh Golkar, dan SBY memilih salah satu diantaranya dan kebetulan bukan JK, dimana letak martabat dan harga diri Partai Golkar yang notabene Ketumnya adalah JK?????. Mau dikemanakan rasa malu bagi JK??.
Kemudian kesalahan fatal diplomasi Demokrat adalah dengan dipublikasikannya permintaan tersebut sehingga menjadi headline di beberapa media?? Masih mending jika hal tersebut dikomunikasikan secara empat mata oleh SBY dan JK, sehingga tidak membuat martabat/harga diri JK yang selama ini lebih sering menjadii bemper SBY dalam mengambil kebijakan yang bersifat kontroversial menjadi jatuh...

Jadi sudah sangat tepat bagi Golkar untuk pisah dengan Demokrat dalam Pilpres 2009. Dan di sini sya sangat meyakini kalau perpisahan ini dapat membuat sulitnya posisi Demokrat untuk dapat memenangkan SBY dalam Pilpres mendatang, karena akan bertambahnya satu kekuatan besar menjadi lawan berat bagi SBY dalam Pilpres nanti. Maju terus JK...Hidup Golkar...!!!!!